A.
IFTITAH
Al-Qur’an
yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus petunjuk untuk umat
manusia kapan dan di mana pun, memiliki pelbagai macam keistemewaan.
Keistimewaan tersebut, antara lain, susunan bahasanya yang unik memesonakan,
dan pada saat yang sama mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa
pun yang memahami bahasanya, walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan
berbeda-beda akibat berbagai faktor.
Redaksi
ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis,
tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi
tersebut. Hal inilah yang kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam
hal Al-Qur’an, para sahabat Nabi sekalipun, yang secara umum menyaksikan
turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur
bahasa dan arti kosakatanya, tidak jarang berbeda pendapat, atau bahkan keliru
dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah yang mereka dengan
atau mereka baca itu.[1]
Ibn ‘Abbas,
yang dinilai sebagai salah seorang sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud
firman-firman Allah, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian : pertama,
yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan
pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak ada alasan bagi seseorang
untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh
ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.[2] Dari pembagian ini maka ditemukan dua
jenis pembatasan, yaitu :[3]
(a)
Menyangkut materi ayat-ayat.
Dilihat dari sudut
materi ada ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah
atau oleh Rasul bila beliau menerima penjelasan dari Allah. Pengecualian ini
mengandung beberapa kemungkinan arti, antara lain :
1.
Ada ayat-ayat yang memang
tidak mungkin dijangkau pengertiannya oleh seseorang, seperti : ya-sin, alif
lam mim, dan sebagainya.
2.
Ada ayat-ayat yang hanya
diketahui secara umum artinya, atau sesuai dengan bentuk luar redaksinya,
tetapi tidak dapat didalami maksudnya, seperti masalah-masalah metafisika,
perincian ibadah an-sich, dan sebagainya, yang tidak termasuk dalam
wilayah pemikiran atau jangkauan akal manusia.
(b)
Menyangkut syarat-syarat
penafsiran.
Dari segi syarat
penafsiran, khusus bagi penafsiran yang mendalam dan menyeluruh, ditemukan
banyak syarat. Secara umum dan pokok dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Pengetahuan tentang bahasa
Arab dalam berbagai bidangnya;
2.
Pengetahuan tentang ilmu-ilmu
Al-Qur’an, sejarah turunnya, hadits-hadits Nabi, dan Ushul Fiqh;
3.
Pengetahuan tentang
prinsip-prinsip pokok keagamaan; dan
4.
Pengetahuan tentang disiplin
ilmu yang menjadi materi bahasan ayat.
Bagi mereka yang
tidak memenuhi persyaratan di atas, tidak dibenarkan untuk menafsirkan
Al-Qur’an. Untuk itu ada dua hal yang sangat penting untuk digarisbawahi, yaitu
:[4]
1)
Menafsirkan berbeda dengan
berdakwah atau berceramah berkaitan dengan tafsir ayat Al-Qur’an. Seseorang
yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas, tidak berarti terlarang untuk
menyampaikan uraian tafsir, selama uraian yang dikemukakannya berdasarkan
pemahaman para ahli tafsir yang telah memenuhi syarat di atas.
2)
Faktor-faktor yang
mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain adalah :
a.
Subjektivitas mufasir;
b.
Kekeliruan dalam menerapkan
metode atau kaidah;
c.
Kedangkalan dalam ilmu-ilmu
alat;
d.
Kedangkalan pengetahuan
tentang materi uraian (pembicaraan) ayat;
e.
Tidak memperhatikan konteks,
baik asbab al-nuzul, hubungan atar ayat, maupun kondisi sosial
masyarakat; dan
f.
Tidak memperhatikan siapa
pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan.
Melihat
begitu mendalam dan sistematisnya dalam memahami Al-Qur’an dengan adanya
berbagai persyaratan penafsiran terhadap Al-Qur’an sebagaimana tersebut di
atas, maka tidaklah mengherankan bila Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam,
menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan
ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan ispirator dan pemandu
gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat
ini.[5]
Jika demikian
itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, melalui
penafsiran-penafsiran sebagaimana dijelaskan diatas, mempunyai peranan yang
sangat besar bagi maju-mundurnya umat. Sekaligus, penafsiran-penafsiran itu
dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka. Itu juga
dikarenakan banyak sekali metode penafsiran yang digunakan oleh seorang
mufasirin dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
B.
METODE PENAFSIRAN
AL-QUR’AN
Sebelum berbicara
tentang metode penafsiran al-Qur’an, terlebih dahulu kita harus mengetahui
tentang pengertian metode itu sendiri. Apakah ada perbedaan antara metode
dengan bentuk, dan atau dengan corak?
Metode adalah : Cara yang teratur dan terpikir
baik-baik untuk mencapai maksud[6]. Dalam Ensiklopedi Indonesia Metoda
adalah : cara melakukan sesuatu ata cara mencapai pengetahuan[7] Bentuk adalah : Sistem,
susunan, pendekatan.[8] Dalam hal ini berarti berbicara menganai
hubungan tafsir al-Qur’an dengan media atau alat yang digunakan dalam
menafsirkan al-Qur’an. Media untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman
teks-teks atas nash al-Qur’an dapat berupa; nash (al-Qur’an dan al-Hadits),
akal, ataupun intuisi.[9] Sedangkan Corak adalah : Paham
atau macam.[10] Dalam hal ini corak penafsiran adalah
sekitar hubungan tafsir al-Qur’an dengan kecenderungan yang dimiliki mufasir
yang bersangkutan.
1)
Bentuk Penafsiran
Yang dimaksud
dengan bentuk penafsiran disini ialah naw’ (macam atau jenis)
penafsiran. Sepanjang sejarah penafsiran Al-Qur’an, paling tidak ada dua bentuk
penafsiran yang dipakai (diterapkan) oleh ulama’ yaitu al-ma’tsur (riwayat)
dan al-ra’y (pemikiran).
a.
Bentuk Riwayat (Al-Ma’tsur)
Penafsiran
yang berbentuk riwayat atau apa yang sering disebut dengan “tafsir bi
al-ma’tsur” adalah bentuk penafsiran yang paling tua dalam sejarah
kehadiran tafsir dalam khazanah intelektual Islam. Tafsir ini sampai sekarang
masih terpakai dan dapat di jumpai dalam kitab-kitab tafsir seumpama tafsir
al-Thabari, Tafsir ibn Katsir, dan lain-lain.
Dalam tradisi
studi Al-Qur’an klasik, riwayat merupakan sumber penting di dalam pemahaman
teks Al-Qur’an. Sebab, Nabi Muhammad SAW. diyakini sebagai penafsir pertama
terhadap Al-Qur’an. Dalam konteks ini, muncul istilah “metode tafsir riwayat”.
Pengertian metode riwayat, dalam sejarah hermeneutik Al-Qur’an klasik,
merupakan suatu proses penafsiran Al-Qur’an yang menggunakan data riwayat dari
Nabi SAW. dan atau sahabat, sebagai variabel penting dalam proses penafsiran
Al-Qur’an. Model metode tafsir ini adalah menjelaskan suatu ayat sebagaimana
dijelaskan oleh Nabi dan atau para sahabat.
Para ulama
sendiri tidak ada kesepahaman tentang batasan metode tafsir riwayat.
Al-Zarqani, misalnya, membatasi dengan mendefinisikan sebagai tafsir yang
diberikan oleh ayat Al-Qur’an. Sunnah Nabi, dan para sahabat.[11] Ulama lain, seperti Al-Dzahabi,
memasukkan tafsir tabi’in dalam kerangka tafsir riwayat, meskipun mereka tidak
menerima tafsir secara langsung ari Nabi Muhammad SAW. Tapi, nyatanya
kitab-kitab tafsir yang selama ini diklaim sebagai tafsir yang menggunakan
metode riwayat, memuat penafsiran mereka, seperti Tafsir Al-Thabari.[12] Sedang Al-Shabuni memberikan pengertian
lain tentang tafsir riwayat. Menurutnya tafsir riwayat adalah model tafsir yang
bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah dan atau perkataan sahabat.[13] Definisi ini nampaknya lebih terfokus
pada material tafsir dan bukan pada metodenya. Ulamat Syi’ah berpandangan bahwa
tafsir riwayat adalah tafsir yang dinukil dari Nabi dan para Imam Ahl-bayt.
Hal-hal yang dikutib dari para sahabat dan tabi’in, menurut mereka tidak
dianggap sebagai hujjah.[14]
Dari segi
material, menafsirkan Al-Qur’an memang bisa dilakukan dengan menafsirkan
antarayat, ayat dengan hadits Nabi, dan atau perkataan sahabat. Namun secara
metodologis bila kita menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain dan atau
dengan hadits, tetapi proses metodologisnya itu bukan bersumber dari penafsiran
yang dilakukan Nabi, tentu semua itu sepenuhnya merupakan hasil
intelektualisasi penafsir. Oleh karena itu, meskipun data materialnya dari ayat
dan atau hadits Nabi dalam menafsirkan Al-Qur’an, tentu ini secara metodologis
tidak bisa sepenuhnya disebut sebagai metode tafsir riwayat.
Jadi,
terlepas dari keragaman definisi yang selama ini diberikan para ulama ilmu
tafsir tentang tafsir riwayat di atas, metode riwayat di sini bisa
didefinisikan sebagai metode penafsiran yang data materialnya “mengacu pada
hasil penafsiran Nabi Muhammad SAW. yang ditarik dari riwayat pernyataan Nabi
dan atau dalam bentuk asbab al-nuzul sebagai satu-satunya sember data
otoritatif”. Sebagai salah satu metode, model metode riwayat dalam pengertian
yang terakhir ini tentu statis, karena hanya tergantung pada data riwayat
penafsiran Nabi. Dan juga harus diketahui bahwa tidak setiap ayat mempunyai asbab
al-nuzul.[15]
b.
Bentuk Pemikiran (Al-Ra’y)
Setelah
berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 H, dan peradaban Islam semakin maju dan
berkembang, maka lahirlah berbagai mazhab dan aliran di kalangan umat.
Masing-masing golongan berusaha menyakinkan pengikutnya dalam mengembangkan
paham mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari ayat-ayat Al-Qur’an dan
Hadits-Hadits Nabi, lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka
anut. Ketika inilah berkembangnya bentuk penafsiran al-ra’y (tafsir
melalui pemikiran atau ijtihad). Melihat berkembang pesatnya tafsir bi
al-ra’y, maka tepat apa yang dikatakan Manna’ al-Qaththan bahwa tafsir bi
al-ra’y mengalahkan perkembangan tafsir bi al-ma’tsur.
Meskipun
tafsir bi al-ra’y berkembang dengan pesat, namun dalam
penerimaannya para ulama terbagi menadi dua : ada yang membolehkan ada pula
yang melarangnya. Tapi setelah diteliti, ternyata kedua pendapat yang
bertentangan itu hanya bersifat lafzhi (redaksional). Maksudnya kedua belah
pihak sama-sama mencela penafsiran berdasarkan ra’y (pemikiran) semata
tanpa mengindahkan kaedah-kaedah dan kriteria yang berlaku. Sebaliknya,
keduannya sepakat membolehkan penafsiran Al-Qur’an dengan sunnah Rasul serta
kaedah-kaedah yang mu;tabarah (diakui sah secara bersama).[16]
Dengan
demikian jelas bahwa secara garis besar perkembangan tafsir sejak dulu sampai
sekarang adalah melalui dua bentuk tersebut di atas, yaitu bi al-ma’tsur (melalui
riwayat) dan bi al-ra’y (melalui pemikiran atau ijtihad).
2)
Metode Penafsiran
Yang dimaksud
dengan metodologi penafsiran ialah ilmu yang membahas tentang cara yang teratur
dan terpikir baik untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari ayat-ayat
A;-Qur’an sesuai kemampuan manusia.
Metode tafsir yang
dimaksud di sini adalah suatu perangkat dan tata kerja yang digunakan dalam
proses penafsiran Al-Qur’an. Perangkat kerja ini, secara teoritik menyangkut
dua aspek penting yaitu : pertama, aspek teks dengan problem semiotik
dan semantiknya. Kedua, aspek konteks di dalam teks yang
mempresentasikan ruang-ruang sosial dan budaya yang beragam di mana teks itu
muncul. [17]
Jika ditelusuri
perkembangan tafsir Al-Qur’an sejak dulu sampai sekarang, maka akan ditemukan
bahwa dalam garis besarnya penafsiran Al-Qur’an ini dilakukan dalam empat cara
(metode), sebagaimana pandangan Al-Farmawi, yaitu : ijmaliy (global),
tahliliy (analistis), muqaran (perbandingan), dan
mawdhu’iy (tematik).[18] Untuk
lebih jelasnya di bawah ini diuraikan keempat metode tafsir tersebut secara
rinci, yaitu : [19]
(a)
Metode Ijmali (Global)
Ø Pengertian
Yang dimaksud
dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu metoda tafsir
yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global.[20] Pengertian tersebut menjelaskan
ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer,
mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan
ayat-ayat di dalam mushhaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari
gaya bahasa AL-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap
mendengar Al-Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya.[21]
Kitab tafsir
yang tergolong dalam metode ijmali (global) antara lain : Kitab
Tafsir Al-Qur’an al-Karim karangan Muhammad Farid Wajdi, al-Tafsir
al-Wasith terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyat, dan Tafsir
al-Jalalain, serta Taj al-Tafasir karangan Muhammad ‘Utsman al-Mirghani.
Ø Ciri-ciri Metode Ijmali
Dalam metode ijmali
seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa
perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tak jauh berbeda dengan
metode alalitis, namun uraian di dalam Metode Analitis lebih rinci daripada di
dalam metode global sehingga mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat
dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak ada ruang bagi mufasir
untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab Tafsir Ijmali
seperti disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi
ringkas dan umum sehingga seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang
dibaca tersebut adalah tafsirnya; namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga
penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.
(b)
Metode Tahliliy (Analisis)
Ø Pengertian
Yang dimaksud
dengan Metode Tahliliy (Analisis) ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang
ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai
dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Kalau kita
lihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang terdapat dalam tafsir tahliliy
yang jumlah sangat banyak, dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada tujuh
bentuk tafsir, yaitu : [22] Al-Tafsir bi al-Ma’tsur, Al-Tafsir bi
al-Ra’yi, Al-Tafsir al-Fiqhi, Al-Tafsir al-Shufi, At-Tafsir al-Ilmi, dan Al-Tafsir
al-Adabi al-Ijtima’i.
Sebagai
contoh penafsiran metode tahliliy yang menggunakan bentuk Al-Tafsir
bi al-Ma’tsur (Penafsiran ayat dengan ayat lain), misalnya : kata-kata al-muttaqin
(orang-orang bertakwa) dalam ayat 1 surat al-Baqarah dijabarkan ayat-ayat
sesudahnya (ayat-ayat 3-5) yang menyatakan :
ﺍﻟﺬﻳﻦﻳﺆﻣﻨﻮﻥﺑﺎﺍﻟﻐﻴﺐﻭﻳﻘﻴﻤﻮﻥﺍﻟﺼﻠﻮﺓﻭﻣﻤﺎﺭﺯﻗﻨﺎﻫﻢﻳﻨﻔﻘﻮﻥﻭﺍﻟﺬﻳﻦﻳﺆﻣﻨﻮﻥﺑﻤﺎﺃﻧﺰﻝ
ﺇﻟﻴﻚﻭﻣﺎﺃﻧﺰﻝﻣﻦﻗﺒﻠﻚﻭﺑﺎﻷﺧﺮﺓﻫﻢﻳﻮﻗﻨﻮﻥﺃﻭﻟﺌﻚﻋﻠﻰﻫﺪﯼﻣﻦﺭﺑﻬﻢﻭﺃﻭﻟﺌﻚ
ﻫﻢﺍﻟﻤﻔﻠﺤﻮﻥ
“Yaitu orang-orang yang beriman
kepada yang ghaib, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami
berikan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur’an) yang
telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu,
serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akherat. Mereka itulah yang tetap
mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka orang-orang yang beruntung.”
Ø Ciri-ciri Metode Tahlili
Pola
penafsiran yang diterapkan para penafsir yang menggunakan metode tahlili terlihat
jelas bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam
ayat-ayat Al-Qur’an secara komprehenshif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur,
maupun al-ra’y, sebagaimana. Dalam penafsiran tersebut, Al-Qur’an
ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara berurutan, serta tak
ketinggalan menerangkan asbab al-nuzul dari ayat-ayat yang ditafsirkan.
Penafsiran
yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma’tsur (riwayat) atau ra’y
(pemikiran). Diantara kitab tahlili yang mengambil bentuk ma’tsur
(riwayat) adalah :
Ø Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an al-Karim, karangan Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H) dan
terkenal dengan Tafsir al-Thabari.
Ø Ma’alim al-Tanzil,
karangan al-Baghawi (w. 516 H)
Ø Tafsir al-Qur’an al-Azhim, karangan Ibn Katsir; dan
Ø Al- Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, karangan al-Suyuthi (w. 911 H)
Adapun tafsir
tahlili yang mengambil bentuk ra’y banyak sekali, antara lain :
Ø Tafsir al-Khazin,
karangan al-Khazin (w. 741 H)
Ø Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, karangan al-Baydhawi (w. 691 H)
Ø Al-Kasysyaf, karangan
al-Zamakhsyari (w. 538 H)
Ø Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an, karangan al-Syirazi (w. 606 H)
Ø Al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, karangan al-Fakhr al-Razi (w. 606 H)
Ø Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, karangan Thanthawi Jauhari;
Ø Tafsir al-Manar,
karangan Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M); dan lain-lain
(c)
Metode Muqarin
(Komparatif)
Ø Pengertian
Pengertian
metode muqarin (komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut :
a.
Membandingkan teks (nash)
ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua
kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang
sama;
b.
Membandingkan ayat Al-Qur’an
dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat bertentangan;
c.
Membandingkan berbagai
pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Jadi dilihat
dari pengertian tersebut dapat dikelompokkan 3 objek kajian tafsir, yaitu[23] :
§
Membandingkan ayat Al-Qur’an
dengan ayat Al-Qur’an yang lain;
Mufasir
membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki
persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda; atau
ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga)
sama. Al-Zarkasyi mengemukakan delapan macam variasi redaksi ayat-ayat
Al-Qur’an,[24] sebagai berikut :
(a) Perbedaan tata letak kata dalam kalimat,
seperti :
ﻗﻞﺇﻥﻫﺪﯼﺍﷲﻫﻮﺍﻟﻬﺪﯼ
“Katakanlah :
Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk” (QS : al-Baqarah
: 120)
ﻗﻞﺇﻥﺍﻟﻬﺪﯼﻫﺪﯼﺍﷲ
“Katakanlah :
Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah” (QS : al-An’am
: 71)
(b) Perbedaan dan penambahan huruf, seperti :
ﺳﻮﺍﺀﻋﻠﻴﻬﻢﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi mereka
apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi
peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : al-Baqarah : 6)
ﻭﺳﻮﺍﺀﻋﻠﻴﻬﻢﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi mereka
apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah tidak memberi peringatan
kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : Yasin: 10)
(c) Pengawalan dan pengakhiran, seperti :
ﻳﺘﻠﻮﻋﻠﻴﻬﻢﺍﻳﺘﻚﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢﺍﻟﻜﺘﺐﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢ
“...yang membaca kepada
mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan
al-Hikmah serta mensucikan mereka” (QS. Al-Baqarah :129)
ﻳﺘﻠﻮﻋﻠﻴﻬﻢﺍﻳﺘﻪﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢﺍﻟﻜﺘﺐﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔ
“...yang membaca
ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka
al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah” (QS. Al-Jumu’ah : 2)
(d) Perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma’rifah
(definte noun), seperti :
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬﺑﺎﺍﷲﺇﻧﻪﻫﻮﺍﻟﺴﻤﻴﻊﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“...mohonkanlah
perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (QS. Fushshilat : 36)
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬﺑﺎﺍﷲﺇﻧﻪﺳﻤﻴﻊﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“...mohonkanlah
perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 200)
(e) Perbedaan bentuk jamak dan tunggal,
seperti :
ﻟﻦﺗﻤﺴﻨﺎﺍﻟﻨﺎﺭﺇﻻﺃﻳﺎﻣﺎﻣﻌﺪﺩﺓ
“...Kami sekali-kali
tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” (QS.
Al-Baqarah : 80)
ﻟﻦﺗﻤﺴﻨﺎﺍﻟﻨﺎﺭﺇﻻﺃﻳﺎﻣﺎﻣﻌﺪﺩﺍﺕ
“...Kami sekali-kali
tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari yang dapat
dihitung.” (QS. Ali-Imran : 24)
(f) Perbedaan penggunaan huruf kata depan,
seperti :
ﻭﺇﺫﻗﻠﻨﺎﺍﺩﺧﻠﻮﺍﻫﺬﻩﺍﻟﻘﺮﻳﺔﻓﻜﻠﻮﺍ
“Dan (ingatlah) ketika
Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-Baqarah
: 58)
ﻭﺇﺫﻗﻴﻞﻟﻬﻢﺍﺳﻜﻨﻮﺍﻫﺬﻩﺍﻟﻘﺮﻳﺔﻭﻛﻠﻮﺍ
“Dan (ingatlah) ketika
Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-A’raf :
161)
(g) Perbedaan penggunaan kosa kata, seperti :
ﻗﺎﻟﻮﺍﺑﻞﻧﺘﺒﻊﻣﺎﺃﻟﻔﻴﻨﺎﻋﻠﻴﻪﺃﺑﺈﻧﺎ
“Mereka berkata : Tidak,
tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (alfayna) dari
(perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Al-Baqarah : 170)
ﻗﺎﻟﻮﺍﺑﻞﻧﺘﺒﻊﻣﺎﻭﺟﺪﻧﺎﻋﻠﻴﻪﺃﺑﺈﻧﺎ
“Mereka berkata : Tidak,
tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (wajadna) dari
(perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Luqman : 21)
(h)
Perbedaan penggunaan idgham
(memasukkan satu huruf ke huruf lain), seperti :
ﺫﻟﻚﺑﺄﻧﻬﻢﺷﺎﻗﻮﺍﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻭﻣﻦﻳﺸﺎﻕﺍﷲﻓﺈﻥﺍﷲﺷﺪﻳﺪﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
“Yang demikian ini adalah
karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya, barang siapa menentang
(yusyaqq) Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS.
Al-Hasyr : 4)
ﺫﻟﻚﺑﺄﻧﻬﻢﺷﺎﻗﻮﺍﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻭﻣﻦﻳﺸﺎﻕﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻓﺈﻥﺍﷲﺷﺪﻳﺪﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
“Yang demikian ini adalah
karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya. Barang siapa menentang
(yusyaqiq) Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)
Dalam
mengadakan perbandingan antara ayat-ayat yang berbeda redaksi tersebut di atas,
ditempuh beberapa langkah : (1) menginventa-risasi ayat-ayat al-Qur’an yang
memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang sama dalam kasus
berbeda, (2) Mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan
redaksinya, (3) Meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya
dengan kasus-kasus yang dibicarakan ayat bersangkutan, dan (4) Melakukan
perbandingan.
§ Membandingkan ayat dengan Hadits;
Mufasir
membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits Nabi saw yang terkesan
bertentangan. Dan mufasir berusaha untuk menemukan kompromi antara keduanya.
Contoh perbedaan antara ayat al-Qur’an surat al-Nahl/16 : 32 dengan hadits
riwayat Tirmidzi dibawah ini :
ﺍﺩﺧﻠﻮﺍﺍﻟﺠﻨﺔﺑﻤﺎﻛﻨﺘﻢﺗﻌﻤﻠﻮﻥ
“Masuklah kamu ke
dalam surga disebabkan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Al-Nahl : 32)
ﻟﻦﻳﺪﺧﻞﺃﺣﺪﻛﻢﺍﻟﺠﻨﺔﻳﻌﻤﻠﻪ﴿ﺭﻭﺍﻩﺍﻟﺘﺮﻣﺬﯼ﴾
“Tidak akan masuk seorang
pun diantara kamu ke dalam surga disebabkan perbuatannya” (HR. Tirmidzi)
Antara ayat
al-Qur’an dan hadits tersebut di atas terkesan ada pertentangan. Untuk
menghilangkan pertentangan itu, al-Zarkasyi mengajukan dua cara :
Pertama, dengan menganut pengertian harfiah hadits,
yaitu bahwa orang-orang tidak masuk surga karena amal perbuatannya, tetapi
karena ampunan dan rahmat Tuhan. Akan tetapi, ayat di atas tidak disalahkan,
karena menurutnya, amal perbuatan manusia menentukan peringkat surga yang akan
dimasukinya. Dengan kata lain, posisi seseorang di dalam surga ditentukan amal
perbuatannya. Pengertian ini sejalan dengan hadits lain, yaitu :
ﺇﻥﺃﻫﻞﺍﻟﺠﻨﺔﺇﺫﺍﺩﺧﻠﻮﻫﺎﻧﺰﻟﻮﺍﻓﻴﻬﺎﺑﻔﻀﻞﻋﻤﻠﻬﻢ﴿ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﯼ﴾
“Sesungguhnya ahli surga itu, apabila memasukinya, mereka mendapat posisi
di dalamnya berdasarkan keutamaan perbuatannya”. (HR. Tirmidzi)
Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba’
pada ayat di atas berbeda konotasinya dengan yang ada pada hadits tersebut.
Pada ayat berarti imbalan, sedangkan pada hadits berarti sebab.
§ Membandingkan pendapat para mufasir.
Mufasir
membandingkan penafsiran ulama tafsir, baik ulama salaf maupun ulama khalaf,
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, baik yang bersifat manqul (al-tafsir
al-ma’tsur) maupun yang bersifat ra’yu (al-tafsir bi
al-ra’yi).
Manfaat yang
dapat diambil dari metode tafsir ini adalah : 1) membuktikan ketelitian
al-Qur’an; 2) membuktikan bahwa tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang
kontradiktif; 3) memperjelas makna ayat; dan 4) tidak menggugurkan suatu hadits
yang berkualitas sahih.
Sedang dalam
hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang yang lain, mufasir
berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik temu di antara
perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat
setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.
Ø Ciri-ciri Metode Muqarin
Perbandingan
adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini letak salah satu perbedaan
yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan
karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat
dengan hadits, adalah pendapat para ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang
ketiga. Oleh sebab itu jika suatu penafsiran dilakukan tanpa membandingkan
berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu
tidak dapat disebut “metode muqarrin”.
(d)
Metode Mawdhu’iy (Tematik)
Ø Pengertian
Yang dimaksud
dengan metode mawdhu’iy ialah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan
tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun.
Kemudian dikahi secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya
seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan
secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah; baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an
dan Hadits, maupun pemikiran rasional.
Ø Ciri-ciri Metode Mawdhu’iy
Yang menjadi
ciri utama metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan;
sehingga tidak salah bila di katakan bahwa metode ini juga disebut metode
“topikal”. Jadi mufasir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada si tengah
masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu sendiri, ataupun dari yang lain.
Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh
dari berbagai aspek, sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di
dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Artinya penafsiran yang diberikan
tak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak terkesan
penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan belaka (al-Ra’y
al-Mahdh).
Sementara itu
Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawy seorang guru besar pada Fakultas
Ushuluddin Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu’i mengemukakan
secara rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu’i.
Langkah-langkah tersebut adalah :
(a)
Menetapkan masalah yang akan
dibahas (topik);
(b)
Menghimpun ayat-ayat yang
berkaitan dengan masalah tersebut;
(c)
Menyusun runtutan ayat sesuai
dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya;
(d)
Memahami korelasi ayat-ayat tersebut
dalam surahnya masing-masing;
(e)
Menyusun pembahasan dalam
kerangka yang sempurna (out-line);
(f)
Melengkapi pembahasan dengan
hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan;
(g)
Mempelajari ayat-ayat
tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai
pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan
yang khas (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada
lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan
atau pemaksaan. [25]
C.
ANALISIS
Yang paling
populer dari keempat metode penafsiran yang disebutkan di atas, menurut Dr.
Quraish Shihab[26] adalah metode tahliliy, dan
metode mawdhu’iy. Namun begitu dari beberapa tokoh analis Islam, kedua
metode tersebut disamping mempunyai kelebihan disatu sisi, pada sisi yang lain
mempunyai kelemahan-kelemahan.
Metode tahliliy
atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi’iy.[27] Walaupun
sangat luas – karena menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai segi – namun
tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan
diuraikan sisinya atau kelanjutannya, pada ayat lain. Pemikir Al-Jazair
kontemporer, Malik bin Nabi, menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan
Al-Qur’an dengan metode tahliliy itu, tidak lain kecuali dalam rangka
upaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan
Al-Qur’an.[28] Terlepas dari bernar tidaknya pendapat
Malik tersebut, namun yang jelas kemukjizatan Al-Qur’an tidak ditujukan kecuali
kepada mereka yang tidak percaya. Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan
rumusan definisi mukjizat di mana terkadang di dalamnya unsur tahaddiy
(tantangan), sedangkan seorang Muslim tidak perlu ditantang karena dengan
keislamannya ia telah menerima. Bukti kedua dapat dilihat dari teks ayat-ayat
yang berbicara tentang keluarbiasaan Al-Qur’an yang selalu dimulai dengan
kalimat ﺇﻧﻜﻨﺘﻢﻓﻰﺭﻴﺐ atau ﺇﻧﻜﻨﺘﻢﺻﺪﻗﻴﻦ.
Kalau tujuan
penggunaan metode tahliliy seperti yang diungkapkan Malik di atas, maka
terlepas dari keberhasilan atau kegagalan mereka, yang jelas untuk masyarakat
Muslim dewasa ini, paling tidak persoalan tersebut bukan lagi merupakan
persoalan yang mendesak. Karenanya, untuk masa kini, pengembangan metode
penafsiran menjadi amat dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat dengan Baqir
Al-Shadr – Ulama’ Syi’ah Irak itu – yang menilai bahwa metode tahliliy telah
menghasilkan pandangan-pandangan parsial serta kontradiktif dalam kehidupan
umat Islam.[29] Dapat ditambahkan bahwa para penafsir
yang menggunakan metode tahliliy tidak jarang hanya berusaha menemukan
dalil atau lebih tepat dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an.
Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas
terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi
pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subjektivitas mufasirnya.
Kelemahan
lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahliliy
dan yang masih perlu dicari penyebabnya – apakah pada diri kita atau metode
mereka – adalah bahwa bahasa-bahasanya dirasakan sebagai “mengikat” generasi
berikutnya. Hal ini mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang
mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian yang bersifat teoritis
dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan Al-Qur’an untuk waktu dan
tempat.[30]
Sedang metode
mawdhu’iy yang mana mufasirnya berupaya menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an
dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang
ditetapkan sebelumnya. Kemudian, penafsir membahas dan menganalisis kandungan
ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Beberapa
keistemewaan metode mawdhu’iy antara lain : (1) Menghindari problem atau
kelemahan metode lain; (2) Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadits
Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan Al-Qur’an; (3) Kesimpulan yang
dihasilkan mudah dipahami;[31] dan (4) Metode ini memungkinkan
seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam
Al-Qur’an. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat Al-Qur’an sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Disamping itu
ketika metode mawdhu’iy disandingkan dengan metode-metode lain, maka akan
muncul perbedaan-perbedaan. Perbedaan tersebut antara lain :
Ø
Perbedaan Metode Mawdhu’iy
dengan Metode Analisis
Metode Mawdhu’iy
|
Metode Analisis
|
Ø Mufasir dalam penafsirannya tidak terikat dengan
susunan ayat dalam mush-haf, tetapi lebih terikat dengan urutan masa
turunnya ayat atau kronologis kejadian
Ø Mufasir tidak membahas segala segi permasalahan
yang dikandung oleh satu ayat, tapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan
atau judul yang ditetapkannya
Ø Mufasir dalam pembahasannya tidak mencantumkan
arti kosakata, sebab nuzul, munasabah ayat dari segi sistematika
perurutan, kecuali dalam batas-batas yang dibutuhkan oleh pokok bahasannya.
Ø Mufasir berusaha untuk menuntaskan
permasalahan-permasalahan yang menjadi pokok bahasannya.
|
Ø Mufasir memperhatikan susunan sebagaimana
tercantum dalam mush-haf.
Ø Mufasir berusaha untuk berbicara menyangkut
segala sesuatu yang ditemukannya dalam setiap ayat
Ø Sebaliknya
Ø Mufasir biasanya hanya mengamukakan penafsiran
ayat-ayat secara berdiri sendiri, sehingga persoalan yang dibahas menjadi
tidak tuntas, karena ayat yang ditafsirkan seringkali ditemukan kaitannya
dalam ayat lain pada bagian lain surat tersebut, atau dalam surat yang lain.
|
Ø Perbedaan Metode Mawdhu’iy dengan Metode Komparasi
Contoh perbedan
antara metode mawdhu’iy dengan metode komparasi, adalah yang khusus
membandingkan antara ayat dengan ayat seperti ayat :
§
Surat Al-An’am ayat 151 :
|
ﻭﻻﺗﻘﺘﻠﻮﺁﺍﻭﻻﺩﻛﻢﻣﻦﺇﻣﻼﻕﻃ
ﻧﺤﻦﻧﺮﺯﻗﻜﻢﻭﺍﻳﺎﻫﻢ
|
§
Surat Al-Isra’ ayat 31 :
|
ﻭﻻﺗﻘﺘﻠﻮﺁﺍﻭﻻﺩﻛﻢﺧﺸﻴﺔﺇﻣﻼﻕﻃ
ﻧﺤﻦﻧﺮﺯﻗﻬﻢﻭﺍﻳﺎﻫﻢ
|
Atau perbedaan antara :
|
|
§
Surat Al-A’raf ayat 12
|
ﻗﺎﻝﻣﺎﻣﻨﻌﻚﺍﻻﺗﺴﺠﺪﺍﺫﺍﻣﺮﺗﻚﻃ
ﻗﺎﻝﺍﻧﺎﺧﻴﺮﻣﻨﻪ
|
§
Surat Shad ayat 75
|
ﻣﺎﻣﻨﻌﻚﺍﻥﺗﺴﺠﺪﻟﻤﺎﺧﻠﻘﺖﺑﻴﺪﻱ
|
Metode Mawdhu’iy
|
Metode Komparasi
|
Ø Mufasir disamping menghimpun semua ayat yang
berkaitan dengan masalah yang dibahas, ia juga mencari persamaan-persamaan,
serta segala petunjuk yang dikandungnya selama berkaitan dengan pokok bahasan
yang ditetapkan.
|
Ø Mufasir biasanya hanya menjelaskan hal-hal yang
berkaitan dengan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat
tersebut atau perbedaan kasus atau masalah
Seperti misal :
Al-Khatib Al-Iskafi dalam kitabnya Durrah Al-Tanzil wa Ghurrah Al-Ta’wil, (tidak
mengarahkan pandangannya kepada petunjuk-petunjuk yang dikandung oleh
ayat-ayat yang dibandingkan)
|
D.
KESIMPULAN DAN PENUTUP
(1)
Tafsir terdiri dari empat
bagian : pertama, yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang
Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak ada alasan
bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui
kecuali oleh ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh
Allah.
(2)
Ada dua jenis pembatasan
dalam tafsir al-Qur’an, yaitu : menyangkut materi ayat-ayat dan menyangkut
syarat-syarat penafsiran.
(3)
Dalam penafsiran al-Qur’an
ada dua bentuk yang selama ini dipakai (diterapkan) oleh para ulama, yaitu : al-Tafsir
bi al-Ma’tsur (Riwayat), dan al-Tafsir bi al-Ra’y (Pemikiran)
(4)
Secara garis besarnya ada
empat cara (metode) penafsiran al-Qur’an yang dipakai sejak dahulu sampai
sekarang, yaitu : ijmaliy (global), tahliliy (analistis),
muqaran (perbandingan), dan mawdhu’iy (tematik)
(5)
Yang paling populer dari keempat
metode penafsiran, menurut Dr. Quraish Shihab adalah : metode tahliliy (analistis),
dan metode mawdhu’iy (tematik) namun disamping populer menurut para
ulama tafsir, metode ini memiliki kelemahan-kelemahan disamping memiliki
kelebihan.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah
fi al-Tafsir al-Mawdhu’i, Dirasat Manhajiyyah Mawdhu’iyyah, (1977).
Abdul Hay Al-Famawiy, Dr.,
Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’iy, Al-Hadharah Al-Arabiyah, Kairo,
Cetakan II, 1977.
Al-Dzahabi, Al-Tafsir
wa Al-Mufassirun, Kairo, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1961.
Ali Al-Awsi, Al-Thabathaba’i
wa Manhajuh fi Tafsirih Al-Mizan, Taheran, Al-Jumhuriyyah Al-Islamiyyah fi
Iran, 1975.
Bard Al-Din Muhammad
Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Jilid II, dar
al-Fikr, Beirut, 1988.
Al-Zarkasyi, Al-Burhan
fi ‘Ulum Al-Qur’an, Jilid II., Al-Halabiy, Mesir, 1957.
--------------, al-Burhan
fi Ulum al-Qur’an, Jilid. I, Beirut, Dar al-Fikr, 1988.
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka. 1989.
Hasan Hanafi, Prof. Dr., Al-Yamin
wa Al-Yasar fi Al-Fikr Al-Diniy, Madbuliy, Mesir, 1989.
Hassan Shadily, Ensiklopedi
Indonesia, Jakarta, PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve. t.t.
Islah Gusmian, Khazanah
Tafsir Indonesia (dari Hermeneutika hingga Ideologi), Jakarta, Teraju Cet.
I, 2003.
M. Quraish Shihab, Dr. MA,
Membumikan Al-Qur’an (Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat), Mizan,
Bandung, 1994.
Malik bin Nabi, Le
Phenomena Quranique, diterjemahkan kedalam bahasa Arab oleh Prof. Dr.
Abdussabur Syahin dengan judul Az-Zahirah Al-Qur’aniyah, Dar Al-Fikr,
Lebanon, t.t.
Muhammad ‘Abd Al-Azhim
Al-Zarqani, Manahil Al-Irfan.
Muhammad Ali Al-Shabuni, A-Tibyan.
Muhammad Baqir Al-Shadr, Al-Tafsir
Al-Maudhu’iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi’iy fi Al-Qur’an Al-Karim, Dar Al-Ta’ruf
lil Matbu’at, Beirut, 1980.
Muhammad Husain
Al-Zahabity, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Dar Al-Kutub Al-Haditsah,
Mesir, 1961, Jilid I.
Nasharuddin Baidan, Prof.
Dr., Rekonstruksi Ilmu Tafsir, Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Prima Yasa,
2000
Quraish Shihab, Prof. Dr..
dkk., Sejarah dan Ulum al-Qur’an, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1999.
[1] Muhammad Husain Al-Zahabity, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Dar
Al-Kutub Al-Haditsah, Mesir, 1961, Jilid I, hlm. 59.
[3] Dr. M. Quraish Shihab, MA, Membumikan Al-Qur’an (Fungsi dan peran
wahyu dalam kehidupan masyarakat), Mizan, Bandung, 1994. hlm. 78 – 79.
[5] Prof. Dr. Hasan Hanafi, Al-Yamin wa Al-Yasar fi Al-Fikr Al-Diniy, Madbuliy,
Mesir, 1989, hlm. 77.
[6] Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka.
1989. hlm. 580 – 581.
[9] Bard Al-Din Muhammad
Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Jilid II, dar
al-Fikr, Beirut, 1988. hlm. 200
[14] Ali Al-Awsi, Al-Thabathaba’i
wa Manhajuh fi Tafsirih Al-Mizan, Taheran, Al-Jumhuriyyah Al-Islamiyyah fi
Iran, 1975, hlm. 103
[16] Prof. Dr.Nasharuddin
Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Prima
Yasa, 2000. hlm. 57 – 58.
[17] Islah Gusmian, Khazanah
Tafsir Indonesia (dari Hermeneutika hingga Ideologi), Jakarta, Teraju Cet.
I, 2003. hlm. 196.
[18] Dr. Abdul Hay
Al-Famawiy, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’iy, Al-Hadharah
Al-Arabiyah, Kairo, Cetakan II, 1977. hlm. 23
[20] Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah
fi al-Tafsir al-Mawdhu’i, Dirasat Manhajiyyah Mawdhu’iyyah, (1977). hlm. 43
– 44.
[23] Prof. Dr. Quraish
Shihab. dkk., Sejarah dan Ulum al-Qur’an, Jakarta, Pustaka Firdaus,
1999. hlm. 186–192.
[27] Muhammad Baqir Al-Shadr,
Al-Tafsir Al-Maudhu’iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi’iy fi Al-Qur’an Al-Karim, Dar
Al-Ta’ruf lil Matbu’at, Beirut, 1980, hlm. 10.
[28] Malik bin Nabi, Le Phenomena Quranique, diterjemahkan kedalam
bahasa Arab oleh Prof. Dr. Abdussabur Syahin dengan judul Az-Zahirah
Al-Qur’aniyah, Dar Al-Fikr,
Lebanon, t.t.
hlm. 58
[31] Hal ini disebabkan karena ia membawa pembaca kepada petunjuk Al-Qur’an
tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu.
Juga dengan metode ini, dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh
Al-Qur’an bukan bersifat teoritis semata-mata dan atau tidak dapat membawa kita
kepada kehidupan masyarakat. Dengan begitu ia dapat membawa kita kepada
pendapat Al-Qur’an atentang berbagai problem hidup disertai dengan
jawaban-jawabannya. Ia dapat memperjelas kembali fungsi Al-Qur’an sebagai Kitab
Suci.