Pendahuluan
Ujian Nasional (UN), adalah dua kata yang sangat
populer dan menjadi isu nasional yang menuai
polemik dan kontropersi sejak diberlakukan pada
tahun 2004 sampai saat ini. Bahkan, Mahkamah
Agung, mengambil keputusan untuk menolak Kasasi
yang diajukan Pemerintah terhadap keputusan
Pengadilan Negeri dan keputusan Pengadilan Tinggi
tentang Ujian Nasional.1 Ujian Nasional sebagai
penentu kelulusan peserta didik dari jenjang
pendidikan dasar dan menengah, menurut penulis merupakan isu yang sangat kritis
untuk segera dibenahi. Mengapa? Karena memberikan dampak negatif yang sangat
luar biasa dibandingkan dampak positifnya, baik bagi orang tua, sekolah, pejabat
pelaksana pendidikan, dan lebih khusus bagi peserta didik itu sendiri. Kalau tidak
segera dibenahi, maka dampak tersebut akan berbahaya bagi kelangsungan bangsa,
karena tidak menghasilkan generasi bangsa yang cerdas sebagai manusia seutuhnya
seperti diamanatkan oleh Undang Undang Dasar 1945.
Dalam makalah sederhana ini, penulis ingin mencermati dan menuangkan pemikiran
tentang dua hal, yaitu: 1) hal-hal apa saja yang keliru dengan ujian nasional; dan 2)
bagaimana fungsi ujian (evaluasi hasil belajar, secara umum) dan ujian nasional
seharusnya dalam sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, pembahasan akan
meliputi dampak ujian nasional, beberapa kekeliruan terkait dengan ujian nasional,
dan diakhiri dengan fungsi evaluasi dan ujian nasional dalam sistem pendidikan.
Pendek kata, dalam makalah ini, penulis ingin mencoba membahas upaya
1 Soedijarto, (2010) dalam makalah, “Ujian Nasional Pada Hakekatnya Tidak Sesuai dengan Hakekat, Tujuan dan
Prinsip Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional”, yang disampaikan sebagai masukan kepada Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
2
mengembalikan atau mendudukan fungsi ujian, khususnya ujian nasional kedalam
fungsi yang seharusnya dalam sistem pendidikan untuk membangun masyarakat
sesuai amanat UUD 1945.
Kekeliruan dalam Ujian Nasional
Pada dasarnya, menurut hemat penulis, ada satu kekeliruan mendasar tentang
implementasi ujian nasional, yaitu miskonsepsi tentang makna dan fungsi evaluasi
pendidikan dalam arti yang sebenar-benarnya. Dimana letak kekeliruannya?
Kekeliruan yang sangat mendasar itu adalah ketika Ujian Nasional dijadikan sebagai
faktor penentu kelulusan. Secara konsep, evaluasi, dimana salah satu instrumennya
adalah ujian, bertujuan untuk meningkatkan pendidikan, bukan hanya sekedar untuk
menguji. Sebagaimana ungkapan seorang pakar evaluasi, Stuflebeam yang
menyatakan bahwa, “Evaluation is not to proof, but to improve”. Karena kekeliruan
konsep ini, ujian nasional bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional dan
hakekat dan prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional dan bahkan bertentangan
dengan konsep pendidikan secara umum. Terakhir, akibat praktek pendidikan yang
tidak sesuai dengan prinsip pendidikan yang sebenarnya akan menghasilkan generasi
penerus yang tidak sesuai dengan kebutuhan, sebagai seorang manusia Indonesia
seutuhnya.
Miskonsepsi Ujian Nasional: “Evaluation or Marking?”
Hilda Taba dalam bukunya, “Curriculum Development: Theory and Practice”
menjelaskan bahwa perdebatan di Amerika Serikat pada jaman dulu adalah
adanya kekeliruan konsep tentang dua hal terkait evaluasi, yaitu “evaluation” atau
“marking”. Lebih jauh Hlida Taba menuliskan dalam bukunya tersebut bahwa:
3
“Defining evaluation as marking, reducing everything that is known about
the progress of student to a single mark, is the narrowest concept of
evaluation”. 2
Mengacu pada pandangan Hilda Taba tersebut, jelaslah bahwa kekeliruan
pertama dan utama terhadap ujian nasional adalah pemahaman yang keliru
tentang evaluasi yang menyamakannya sebagai upaya memberikan nilai
(marking). Padahal pandangan ini adalah pandangan yang sempit tentang
evaluasi, apalagi dalam skala nasional sebagai bagian dari kurikulum pendidikan
nasional.
Dalam hal ini, Hilda Taba mendefinisikan evaluasi yang meliputi beberapa hal
sebagai berikut:
clarifying of objectives to the point of describing which behaviors represent
achievement in particular area;
development and use of variety of ways for getting evidence on changes in
students;
appropriate ways of summarizing and interpreting that evidence; and
the use of information gained on the progress of students or the lack of it to
improve curriculum, teaching and guidance.3
Nampak jelas bahwa evaluasi lebih dari hanya sekedar memberikan tes (ujian)
dan nilai terhadap peserta didik. Evaluasi berfungsi untuk memberikan klarifikasi
prilaku mana yang berhasil dan prilak mana yang tidak untuk beberapa hal
tertentu. Kedua, untuk membuktikan perubahan dalam diri peserta didik, harus
digunakan berbagai cara, bukan hanya satu cara, misalnya “pen on paper test”
saja seperti yang terjadi dalam Ujian Nasional dan ujian-ujian lain di sekolah.
Ketiga, perlu digunakan berbagai cara yang tepat pula untuk meringkas dan
menginterpretasikan bukti yang diperoleh dengan berbagai cara tersebut. Terkahir,
informasi yang diperoleh terkait dengan perkembangan peserta didik tersebut,
termasuk dimana letak kelebihan dan kelemahannya, digunakan untuk
2 Taba, Hilda, “Curriculum Development: Theory and Practice”, (Harcourt, Brace & World, Inc: NY, Chicago, San
Francisco, Atalanta), halaman 311.
3 Ibid halaman 313.
4
meningkatkan kurikulum, proses pembelajaran, dan bimbingan terhadap peserta
didik. Stuflebeam, seorang pakar evaluasi sudah lama menyatakan bahwa,
“Evaluation is not to proof, but to improve”. Artinya, tujuan evaluasi pada dasarnya
adalah untuk perbaikan, bukan hanya sekedar untuk menguji.
Karena miskonsepsi tentang evaluasi ini, maka peserta didik (peserta didik) justeru
menjadi obyek “terpidana”, dalam konteks ujian nasional. Padahal seharusnya,
Ujian Nasional sebagai salah satu instrument evaluasi dalam sistem pendidikan
nasional dijadikan sebagai sarana monitoring dan umpan balik (feedback),
dimana informasinya dijadikan sebagai upaya untuk memperbaiki sistem
pendidikan nasional itu sendiri, baik dari sisi kurikulukm secara keseluruhan,
kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan dan lain-lain. Kenyataannya,
kenapa peserta didik yang menjadi korban? Penulis mengistilahkannya dengan
bahasa yang sedikit provokatif, yaitu, “Ujian Nasional: Peserta didik yang
Terpidana”.
Ujian Nasional Bertentangan dengan Hakekat, Tujuan dan Prinsip
Penyelenggaraan Pendidikan Nasional
Prof Dr. Soedijarto menyatakan bahwa Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan
tidak sesuai dengan hakekat, tujuan dan prinsip penyelenggaraan pendidikan
nasional.4 Hakekat pendidikan nasional seperti tetuang dalam UU No. 20 Tahun
2003, seperti tersurat dalam Pasal 1 Ayat (1) tertulis, bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Negara.”
Sementara itu, UU No. 20 Tahun 2003 juga menetapkan fungsi dan tujuan
pendidikan nasional, seperti tertuang dalam pasal 3 sebagai berikut:
“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
4 Soedijarto, op.cit. halaman 2 – 4.
5
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Mahsa Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara
yang demokratis dan bertanggun jawab.”
Ujian Nasional, lebih menekankan pada kemampuan menghafal dan kemampuan
verbal untuk menjawab pertanyaan, sebagai salah satu jenis alat evaluasi, pilihan
ganda. Ketentuan ujian nasional sebagai penentu kelulusan tidak mendorong
terjadinya suasana dan proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik
aktif mengembangakn potensi dirinya.
Apa yang terjadi di lapangan? Sangat mengkhawatirkan, sekolah menjadi “pusat
bimbingan test”. Guru lebih menekankan pada “drill and practice”, orang tua
cenderung berupaya mengirim anaknya ikut “bimbingan tes”, penerbit menerbitkan
buku-buku yang lebih menekankan pada cara praktis menyelesaikan soal ujian,
dan bahkan pejabat lembaga pendidikan mencara berbagai cara agar semua
peserta didik lulus ujian nasional, walaupun harus mengajarkan bahwa “cheating”
adalah sah. Ibarat pepatah yang mengatakan, “Kemarau satu tahun dihapus
hujan satu hari”. Fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang begitu mulia,
tertuang dalam dokumen kebijakan negara (UU No. 20 Tahun 2003), sedianya,
untuk mencapai tujuan tersebut harus diimplementasikan dalam setiap subsistem
pendidikan nasional, terhapus sudah oleh satu bagian kecil dari sistem evaluasi
pendidikan, yaitu Ujian Nasional yang dijadikan sebagai Penentu Kelulusan.
Prinsip Pendidikan yang Terabaikan
Penulis tidak dapat menyatakan apakah prinsip pendidikan yang terabaikan
sebagai akibat dari Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan, atau memang sejak
sebelum diberlakukan Ujian Nasional, berbagai prinsip pendidikan yang
seharusnya juga sudah terabaikan. Yang jelas, pengalaman sendiri penulils ketika
memberikan pelatihan-pelatihan tentang strategi pembelajaran yange efektif,
kebanyakan guru menyatakan sulit melakukannya karena harus mengejar
penguasaan materi (daya serap). Akibatnya, guru cenderung lebih menerapkan
6
pendekatan eksporitori ketimbang menekankan pendekatan inkuiri yang lebih
menuntut peran aktif peserta didik dalam mengembangkan potensi dirinya,
sebagai hakekat dan fungsi pendidikan seperti tertuang dalam UU No. 20 Tahun
2003.
Oleh karenanya, Prof. Dr. Soedijarto, dalalam makalah yang sama menyatakan
bahwa Ujian Nasional tidak mendorong terwujudnya pendidikan sebagai proses
pembudayaan seperti diamantakan UU No. 20 Tahun 2003 Pasal (3), (4) dan (5).5
Sebagai contoh, pasal (5) menyatakan bahwa, “Pendidikan diselenggarakan
sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung
sepanjang hayat. Sementara Pasal (4) menyatakan bahwa, “Pendidikan
diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan
mengembangkan kreatifitas dalam proses pembelajarannya.
Bahkan, Ujian Nasional bertentangan denga prinsip pendidikan yang dicanangkan
oleh UNSECO. Jacques Delors, dkk menjelaskan empat pilar pendidikan yang
meliputi kemampuan learning to know/learn, learning to do, learning to be, learning
to live together6 yang merupakan kemampuan yang saling terkait satu sama lain.
Learning to know, adalah fungsi pendidikan dalam membangun peserta didik
memiliki kemampuan berkonsentrasi, mencari tahu dan berpikir sehingga fungsi
pendidikan adalah membekali kemampuan peserta didik untuk belajar bagaimana
belajar (learning how to learn). Learning to do adalah fungsi pendidikan untuk
membangun keterampilan bekerja dimasa mendatang. Terkait dengan era
informasi saat ini, maka learning to do bukan hanya sekedar membekali
kemampuan menegrjakan pekerjaan khusus seperti pada era industri, tapi lebih
jauh juga membekali keterampilan berinovasi. Learning to be adalah fungsi
pendidikan untuk mengembangkan manusia sebagai manusia utuh yang meliputi
jiwa dan raga (main and body), intelektual, kepekaan, spiritual, apresiasi estetik,
dan lain-lain. Pilar ini juga adalah sebagai wujud kekhawatiran akan terjadinya
dehumanisasi. Learning to live together adalah fungsi pendidikan untuk
5 Ibid, halaman 4
6 UNESCO, “The Four Pilars of Education”, http://www.unesco.org/delors/fourpil.htm diakses tanggal 14/15/2009.
7
membangun kemampuan untuk hidup berdampingan secara harmonis, menyadari
kesamaan hak dan kewajiban, menyadari keniscayaan akan suatu perbedaan dan
saling menghargai dan menghormati satu sama lain.
Nampaknya prinsip pendidikan yang sudah diamantakan undang-undang dan
UNESCO ini masih terabaikan. Proses pendidikan yang dilakukan guru demi untuk
mengejar daya serap materi dan pencapaian ujian nasional melalui proses
pembelajaran yang lebih berpusat pada guru dimana guru berperan sebagai
pencekok informasi dan drill and practice, menyebabkan peserta didik hanya
memperoleh “PENGETAHUAN TENTANG”, bukan “KEMAMPUAN UNTUK …”.
Tidaklah heran kalau peserta didik lebih cenderung menyukai “life style”
ketimbang “life skills”.
Implementasi ujian nasional, karena dijadikan sebagai faktor penentu kelulusan,
telah menghasilkan keteladanan yang seharusnya tidak menjadi teladan. Berbagai
uapaya yang dilakukan oleh oknum pelaksana pendidikan (Dinas Pendidikan,
Kepala Sekolah, Guru, dll) justeru tidak membangun ahlak mulia dan kemauan
keras. Akhrinya banyak kasus yang menunjukkan anak yang sehari-hari di kelas
mendapatkan nilai tinggi tidak lulus ujian nasional, sementara anak yang biasa
(tidak “pintar”) lulus ujian.
Fungsi Ujian dan Ujian Nasional dalam Sistem Pendidikan
Pertanyaan besar yang timbul seterusnya adalah, “Apakah ujian nasional harus
dihilangkan?”, “Jika tidak, bagaimana seharusnya ujian nasional difungsikan dalam
system pendidikan nasional? .
Jika kita lihat bahasan sebelumnya, jelaslah terlihat bahwa yang keliru bukan pada
ujian nasionalnya, tapi pada fungsi ujian nasional sebagai penentu kelulusan. Karena
jelas, dari sisi hukum, bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2003. Bahkan
bertentangan dengan prinsip pendidikan secara umum. Walaupun penentu kelulusan
tidak hanya diambil dari nilai ujian nasional, tapi juga dari nilai yang diberikan oleh
satuan pendidikan, dalam hal ini sekolah, nampaknya penulis masih tidak setuju
8
kalau UN dijadikan sebagai penentu kelulusan yang mengakibatkan peserta didik
terhambat atau “tervonis” untuk mengikuti jenjang pendidikan berikutnya. Oleh
karena itu, Ujian Nasional tidak perlu dihapuskan, tapi ujian nasional tersebut,
termasuk ujian lain di sekolah perlu kita posisikan pada kedudukan dan fungsi yang
seharusnya.
Memposisikan ujian nasional pada pososi yang seharusnya, penulis merujuk pada
Livingston dkk. Livingston dkk., menjelaskan beberapa fungsi ujian (common use of
educational assessment), yatu sebagai: 1) evaluasi peserta didik (student
evaluation); 2) keputusan pembelajaran (instructional decisions); 3) keputusan
pemilihan, penempatan dan pengelompokkan (selection, placement and classification
decisions) ; 4) keputusan kebijakan (policy decisions); dan 5) keputusan bimbingan
dan konseling (counceling and guidance decisions).7
Ujian Nasional sebagai Evaluasi Peserta Didik
Dalam hal ini, Livingston dkk., menyatakan dengan jelas bahwa walaupun ujian
dilakukan sebagai evaluasi sumatif, seperti berlaku pada ujian nasional, maka
fungsinya adalah sebagai umpan balik, baik bagi siswa itu sendiri, maupun orang
tua yang menginformasikan tentang perkembangan peserta didik, yaitu kelebihan
dan kelemahannya.8 Apalagi, kalau ujian tersebut dilakukan sebagai upaya
evaluasi formatif. Dalam konteks ini, ujian yang dilakukan oleh guru, yang nantinya
akan menjadi salah satu penentu kelulusan (40%), sebaiknya memberikan umpan
balik dimana kurangnya peserta didik dalam menguasai hal yang harus
dikuasainya dan dimana yang sudah terpenuhi. Sehingga, dalam waktu
berikutnya, peserta didik bisa mengembangkan dirinya pada aspek yang belum
dikuasai penuh. Ujian Nasionalpun, walaupun sifatnya sumatif, sebaiknya cukup
dijadikan sebagai upaya memberikan gambaran dimana kelebihan peserta didik
dan pada bagian mana kelemahan yang harus diperbaiki dimasa mendatang. Halhal
yang harus diperbaiki di masa mendatang, tentunya bukan hanya sebatas hal-
7 Reynolds, Cecil, R., Livingston, Ronald B., Wilson, Victor, “Measurement and Assessment in Education”, (USA:
Library of Congress Cataloging-in-Publication Data, 2006), halaman 15 – 18.
8 Ibid, halaman 16.
9
hal terkait dengan kemampuan kognitif saja, tapi semua aspek baik perkembangan
emosional, spiritual, sosial, dan aspek perkembangan lainnya yang dieprlukan
sebagai manusia seutuhnya. Adalah tidak adil, seorang siswa yang memiliki
potensi tinggi, tidak lulus UN, tidak pula bisa melanjutkan studi lebih tinggi, dan
diapun tidak tahu kekurangan dirinya dalam hal apa sehingga kesempatan untuk
studi lebih tingga (katakanlah masuk perguruan tinggi) jadi terhambat.
Ujian Nasional sebagai Keputusan Pembelajaran (Instructional Decision)
Evaluasi pendidikan, pada dasarnya memberikan informasi penting yang dapat
membantu guru menyesuaikan dan meningkatkan praktek mengajarnya. Hasil
evaluasi dapat dijadikan sebagai informasi yang dapat membantu guru
menentukan apa yang harus diajarkan, bagaimana mengajarkannya, dan sejauh
mana efektifitas proses pembelajaran yang sudah dilakukan.9
Dalam konteks Ujian Nasional, pada dasarnya secara keseluruhan, dapat dilihat
pada mata pelajaran apa saja yang masih lemah sehingga lebih jauh dapat
diidentifikasi kemungkinan-kemungkinan penyebabnya. Informasi hasil ujian
nasional, sebaiknya dijadikan sebagai dasar untuk memperbaiki proses
pembelajaran.
Ujian Nasional sebagai Sarana Seleksi dan Penempatan
Seleksi dan penempatan merupakan dua kata yang saling berkaitan. Jadi,
Livingston menyatakan bahwa ujian dapat dijadikan sebagai sarana memilih
(menyeleksi) dan menempatkan pada tempat yang sebaiknya.10 Dalam konteks
Ujian Nasional, jika dilakukan dengan sebenarnya, bukan sebagai penentu
kelulusan, dapat dijadikan sebagai sarana memilih atau menyaring siswa dalam
tanda petik, “pintar” dan atau “kurang pintar”. Sehingga, katakanlah untuk lulusan
9 Ibid. halaman 16.
10 Ibid. halaman 17
10
SMA, pemerintah dapat mengarahkan lulusan dengan nilai tinggi pada kelompok
mata pelajaran tertentu dapat melanjutkan kuliah pada program studi tertentu,
begitu pula sebaliknya. Misal, untuk siswa yang nilai MIPA (Matematika dan IPA
tinggi) dapat memilih fakultas tertentu, seperti kedokteran, teknik, dan lain-lain.
Ujian Nasional sebagai Keputusan Bimbingan dan Konseling
Ujian dapat memberikan informasi yang mendorong pemahaman-diri (selfunderstanding)
yang dapat membantu peserta didik merencanakan masa
depannya.11 Hal ini terkait dengan ujian sebagai alat mengevaluasi siswa dan alat
seleksi dan penempatanseperti dijelaskan sebelumnya. Mengacu pada hasil ujian
peserta didik dan orang tua dapat merencanakan masa depan dan karir yang
sesuai untuk dirinya. Ujian nasional, sedianya dijadikan sebagai gambaran bakat
dan minat siswa, sehingga peserta didik dapat menyiapkan masa depannya
dengan sebaik-baiknya.
Ujian Nasional sebagai Keputusan Kebijakan (Policy Decision)
Hasil evaluasi pendidikan pada dasarnya mencerminkan kuat lemahnya
implementasi sistem pendidikan dilihat dari berbagai aspek. Oleh karena itu, hasil
evaluasi pendidikan menurut Livingston dkk, dapat dijadikan sebagai saran
memutuskan kebijakan apa saja yang harus diambil12 baik level nasional, maupun
sekolah terkait dengan kualitas pendidik, kurikulum, sarana dan prasarana,
pendanaan dan lain-lain.
Dalam konteks Ujian Nasional, pada dasarnya secara keseluruhan, dapat dilihat
pada mata pelajaran apa saja yang masih lemah sehingga lebih jauh dapat
diidentifikasi kemungkinan-kemungkinan penyebabnya. Informasi hasil ujian
nasional, sebaiknya dijadikan sebagai dasar untuk memperbaiki proses
pembelajaran. Sehingga, berkaca dari hasil ujian nasional, yang secara
11 Ibid. halaman 18
12 Ibid. halaman 17
11
keseluruhan nilainya masih rendah, menunjukkan betapa praktek pembelajaran di
sekolah-sekolah Indonesia yang juga masih rendah. Hal ini, dapat disebabkan oleh
banyak factor, diantaranya kualitas guru, sarana dan prasarana, pendanaan dan
lain-lain. Seharusnya, mengacu pada hasil ujian nasional yang telah beberapa
tahun diselenggarakan, pemerintah melakukan peneleitian yang komprehensif
untuk menjawab satu pertanyaan penelitian mendasar, “Mengapa hasil ujian
nasional rendah?”, Ada apa dengan system pendidikan nasional kita?. Fokus
permasalahan inilah yang sebaiknya dijawab, bukan malah menaikan secara
bertahap standar nilai kelulusan UN, tanpa secara sistemik memperbaiki
komponen lain dari subsistem pendidikan nasional. Mengacu pada hasil penelitian
yang komprehensif ini, maka pemerintah melakukan berbagai kebijakan relevan
lain terkait dengan sistem pendidikan nasional yang meliputi upaya peningkatan
mutu pendidik dan tenaga kependidikan, pendanaan pendidikan, mutu sarana
pendidikan, kurikulum nasional, proses pembelajaran, dan lain-lain.
Kesimpulan
1. Ujian Nasional (UN) yang telah berlangsung sejak tahun 2004, telah membawa
kontroversi dan polemik sampai saat ini. Polemik dan kontroversi ini terjadi
sebagai akibat dari miskonsepsi (kekeliruan pemahaman) tentang makna
evaluasi yang seharusnya.
2. Kekeliruan pemahaman ini, telah menjadikan fungsi Ujian Nasional sebagai
penentu kelulusan. Disinilah akar permasalahan utamanya. Ujian nasional itu
sendiri tidak salah adanya, tapi, adalah keliru kalau dijadikan sebagai penentu
kelulusan.
3. Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan bertentangan dengan UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
4. Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan membawa dampak negatif yang
berbahaya dalam upaya membangun bangsa sesuai amanat UUD 45 dan UU No.
20 Tahun 2003, diantaranya adanya kecenderungan 1) sekolah berfungsi sebagai
“pusat bimbingan tes”, bukan pusat pembudayaan; 2) proses pembelajaran yang
12
tidak sesuai dengan prinsip pendudukan, cenderung perpusat pada guru dan “drill
and practice” menghambat perkembangan potensi anak secara optimal; 3) oknum
pejabat pendidikan, kepala sekolah dan guru yang berupaya membuat siswa lulus
dengan berbagai cara, termasuk membolehkan “cheating” massif dan sistemik,
justeru memberikan teladan yang yang tidak baik, tidak mendorong
pengembangan akhlak dan moral bangsa yang mulia.
5. Kondisi tersebut, tentu saja tidak bisa dibiarkan terus terjadi. Sehingga, dipandang
perlu, fungsi evaluasi pendidikan, khususnya dalam hal ini Ujian Nasional
diposisikan pada posisi yang seharusnya, bukan sebagai penentu kelulusan.
6. Fungsi ujian (asesmen lain) di sekolah dan Ujian Nasional sebaiknya dijadikan
sebagai dasar: (1) evaluasi perkembangan peserta didikan; (2) evaluasi proses
pembelajaran; (3) seleksi, penempatan serta pengelompokkan peserta didik
sesuai dengan potensinya masing-masing yang unik; (4) pengambilan kebijakan
sistem pendidikan nasional; dan (4) keputusan bimbingan dan konseling untuk
menentukan masa depan dan karir peserta didik.
7. Dalam konteks Ujian Nasional, berkaca dari hasil Ujian Nasional yang sampai saat
ini masih belum memuaskan (nilai rata-rata rendah), sebaiknya dilakukan
penelitian yang komprehensif untuk menjawab dua pertanyaan sederhana tapi
mendalam, yaitu: “Mengapa rata-rata nilai Ujian Nasional Rendah? Ada apa
dengan system pendidikan nasional?”. Hasilnya dijadikan sebagai dasar
pengambilan kebijakan sistem pendidikan nasional kedepan baik dilihat dari
upaya perbaikan mutu pendidik dan tenaga kependidikan, pendanaan pendidikan,
kurikulum nasional, sarana dan prasarana, proses pembelajaran dan lain-lain.
13
Referensi:
Livingston, Ronald B., Reynolds, Cecil, R., Wilson, Victor, “Measurement and
Assessment in Education”, (USA: Library of Congress Cataloging-in-
Publication Data, 2006)
Soedijarto, (2010) dalam makalah, “Ujian Nasional Pada Hakekatnya Tidak Sesuai
dengan Hakekat, Tujuan dan Prinsip Penyelenggaraan Sistem Pendidikan
Nasional”, yang disampaikan sebagai masukan kepada Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia.
Taba, Hilda, “Curriculum Development: Theory and Practice”, (Harcourt, Brace & World,
Inc: NY, Chicago, San Francisco, Atalanta)
UNESCO, “The Four Pilars of Education”, http://www.unesco.org/delors/fourpil.htm
diakses tanggal 14/15/2009
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
SUMBER: Uwes Anis Chaeruman